Wabah di Ámwaas dekat Palestina (Tahun 18 H) Diriwayatkan
oleh Al-Imam Ahmad dalam Musnadnya, dari seseorang yang merupakan saksi
hidup wabah thoún Ámwas, ia berkata :
(1) Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan sejarah Thoún
yang terjadi di negeri-negeri Islam dengan ringkas di
hal 361-370 ﺑَﺬْلُ اﻟْﻤَﺎﻋُﻮْنِ
ِﰲ ﻓَﻀْﻞِ اﻟﻄﱠﻌُﻮْنِ kitabnya
Demikian juga banyak terjadi penutupan masjid akibat
peristiwa-peristiwa yang lain.
Silahkan lihat di Akan
tetapi pada tulisan
ini hanya fokus
kepada tertutupnya masjid atau kosongnya masjid akibat wabah.
Ketika wabah merajalela, berdirilah Abu Ubaidah bin Jarrah
berkhutbah di hadapan orang-orang dan berkata; "Wahai manusia!
sesungguhnya penyakit ini merupakan rahmat dari Rabb kalian, doa Nabi kalian,
dan sebab kematian orang-orang shalih sebelum kalian. Dan sesungguhnya Abu Ubaidah
memohon kepada Allah untuk mendapat bagian dari rahmat tersebut." Lalu dia
terjangkit wabah tersebut sehingga meninggal dunia -semoga Allah memberikan
rahmat kepadanya.- kemudian Mu'adz bin Jabal menggantikan dia untuk memimpin
orang-orang, kemudian dia dia berdiri menyampaikan khutbah setelah wafatnya Abu
Ubaidah; "Wahai manusia, penyakit ini merupakan rahmat dari Rabb kalian,
penyakit ini doanya Nabi kalian dan sebab kematiannya para orang-orang shalih
sebelum kalian. Dan sesungguhnya Mu'adz memohon kepada Allah agar keluarga
Mu'adz mendapat bagian dari rahmat tersebut." Kemudian Abdurrahman bin
Mu'adz, anaknya terjangkit penyakit sampai meninggal. Dia pun bangkit memohon
kepada Rabbnya untuk dirinya, dan akhirnya dia juga terjangkit di telapak
tangannya. Sungguh saya melihatnya memperhatikan penyakit tersebut kemudian
mencium bagian atas tangannya sambil berkata; "Aku tidak senang ada
sesuatu dari dunia ada pada dirimu (berkata kepada telapak tangannya yang
terkena tho’un)”. Ketika dia wafat, 'Amru bin Al Ash menggantikan kedudukannya
untuk memimpin orang-orang. Kemudian dia berdiri menyampaikan khutbah di
hadapan kami; "Wahai manusia! sesungguhnya jika wabah ini menjangkiti (di
suatu negri) maka dia akan melahap sebagaimana menyalanya api, maka
menghindarlah kalian ke gunung-gunung." Tetapi Abu Watsilah Al Hudzali
berkata kepadanya; "Demi Allah, kamu telah berdusta, saya pernah menyertai
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan
kamu lebih buruk
daripada keledaiku ini." 'Amru berkata;
" Demi Allah aku
tidak akan membalas perkataanmu,
demi Allah saya tidak akan memperkarakan perkataanmu itu." dia pun
keluar dan orang -orangpun keluar
berpencar darinya, kemudian Allah
melenyapkan wabah tersebut dari
mereka. Ketika pendapat
'Amru tersebut sampai kepada Umar bin Khaththab, demi Allah dia tidak
membencinya."
Bahkan terdapat dalam riwayat lain dari Amr bin Al-Ash yang
memerintahkan untuk menjauh dari keramaian dan mengasingkan diri ke puncak-puncak
gunung dan lembah-lembah. (2) Dan dalam riwayat lain bahwa yang mendebat Amr
bin Al-‘Ash adalah Syurahbil bin Hasanah,
“dari Syahr dari Abdurrahman bin Ghanm ia berkata,
"Ketika penyakit tha'un melanda negeri Syam, maka Amru bin Ash berkhutbah
seraya mengatakan, "Sesungguhnya penyakit tha'un ini adalah kotoran. Maka
hendaklah kalian menghindar darinya dengan berpencar bukit-bukit dan
lembah-lembah ini." Hal itu lalu sampai ke telinga [Syurahbil bin
Hasanah], maka ia pun marah dan datang dengan menyeret kain dan menenteng
sandalnya seraya berkata, "Saya telah berteman dengan Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam. Amru itu lebih sesat daripada himar milik
keluarganya. Akan tetapi hal itu adalah rahmat dari Rabb kalian, do'a dari Nabi
kalian dan wafatnya orang-orang shalih sebelum kalian."
Sebab bantahan Syurahbil bin Hasanah terhadap ‘Amr bin
Al’Ash karena ini merupakan perintah Nabi untuk tidak lari dari penyakit
tho’un, sedangkan Amr bin Al-‘Ash mungkin memahami perintah untuk tidak lari
dari tho’un adalah lari ke negara/kota lain yang dikhawatirkan tho’un tersebut
menyebar ke kota lain dan larangan tersebut tidak berlaku ke daerah yang tidak
ditempati orang-orang seperti puncak-puncak gunung ataupun lembah-lembah.
Dalam kisah di atas tidak disebutkan tentang kondisi masjid
, akan tetapi dzohirnya masjid-masjid ditinggalkan di zaman ‘Amr bin al-‘Ash
karena beliau memerintahkan orang-orang untuk menjauh pergi ke gunung-gunung.
Wabah di al-Qoairawan, Tunisia (Tahun 395 H) Sekitar tahun
395 H pernah terjadi wabah di Tunisia sebagaimana yang sebutkan oleh Ibnu Idzari
Al-Marokisyi,
“Dahulu pada tahun 395 H di Afrika terdapat bencana besar
yang menjadikan tirai-tirai tersingkap, orang-orang fakir meninggal, harta
orang kaya ludes, harga-harga barang melambung tinggi, dan tidak adanya makanan
pokok. Penduduk pedalaman meninggalkan kampung halaman mereka sehingga banyak
rumah-rumah yang
kosong dan tidak tersisa orang yang mewarisinya. Kondisi
genting ini disertai dengan wabah tho’un yang menyebabkan binasanya mayoritas
orang-orang, baik orang kaya maupun orang miskin (yang butuh). Maka engkau
tidak akan mendapati orang yang beraktifitas kecuali untuk berobat, mengunjungi
orang yang sakit, menyiapkan untuk mengurus orang yang meninggal, mengiringi
jenazah, atau kembali dari menguburkan jenazah.... maka meninggal
bermacam-macam golongan manusia dari ulama, pedagang, wanita, dan anak-anak
yang jumlahnya tidak ada yang bisa menghitungnya kecuali Sang Pencipta Allah subhanahu wa ta
'ala, dan masjid -masjid di Qairawan pun kosong.
Wabah di Andalus (Tahun 448) Berkata adz-Dzahabi tentang
kejadian tahun 448 H,
“dan terjadi pada tahun tersebut kemarau yang berkepanjangan
dan wabah di Andalus. Dan banyak manusia yang meninggal di Ishbilia dimana
masjid-masjid selalu tertutup karena tidak ada yang shalat di dalamnya. Dan
dinamakan tahuntersebut dengan tahun kelaparan besar.” (2) Dan beliau juga
berkata:
“dan kemarau sangat lama di Mesir dan Andalus. Dan tidak
pernah terjadi kemarau dan wabah semisalnya di Qurtubah sehingga masjid-masjid
selalu tertutup tanpa ada orang yang shalat. Dan tahun tersebut dinamakan
dengan tahun kelaparan besar.”
Wabah di Ahwaz, dan juga di Kufah (Tahun 449 H) Berkata
Ibnul Jauzi rahimahullah bercerita tentang kejadian tahun 449 H,
“Pada bulan Jumadil Akhir datang surat dari para pedang dari
negeri-negeri waraa’an -Nahr : “Telah terjadi wabah yang besar yang melampaui
batasnya di kota-kota ini. Sehingga keluar dari wilayah ini dalam satu hari
delapan belas ribu jenazah. Dan terhitung yang meninggal hingga surat ini
dituli sebanyak satu juta sembilan ratus lima puluh ribu jiwa. Dan orang-orang
melewati kota ini mereka tidak melihat kecuali pasar-pasar dan jalan-jalan
yang kosong, pintu-pintu
yang tertutup , hingga sapi-sapi binasa.”
Dan datang kabar dari Adzarbejan dan kota-kota disekitarnya
adanya wabah yang dahsyat, dan tidak ada yang selamat kecuali sedikit. Dan
terjadi wabah di Al-Ahwaaz dan di wilayah-wilayahnya, di Wasith, di An-Nil, dan
di Muthorabadz. Wabah merata, sampai-sampai dibuat satu lubang lalu dilemparkan
20 sampai 30 mayat padanya. Kebanyakan sebab kematian miskin adalah kelaparan. Orang-orang memanggang anjing, mereka
menggali kubur lalu membakar mayat-mayat dan memakannya. Ada orang yang
memiliki 2 petak tanah, lalu ada yang mau beli dengan harga 10 dinar, namun ia
tidak menjualnya, maka tatkala itu ia menjualnya dengan 5 rithl (takaran ) roti
, lalu ia memakan tersebut lalu ia mati seketika. Perdagangan ditutup demikian
juga perkara-perkara dunia. Tidak ada kegiatan orang-orang siang dan malam
kecuali hanya memandikan mayat dan menyiapkan penyelenggaraan janazah
dan penguburan. Seseorang duduk
lalu jantungnya pun pecah dan darahpun keluar menuju mulutnya lalu menetes
setetes darah lalu meninggal.
Orang-orangpun bertaubat seluruhnya, mereka bersedekah
dengan mayoritas harta mereka. Bir-bir mereka buang, alat-alat musik mereka
hancurkan, dan mereka melazimi masjid-masjid untuk membaca al-Qurán, terutama
para pejabat dan orang-orang yang dzalim. Semua rumah yang ada khomr (bir)nya
maka penghuninya wafat dalam satu malam. Mereka mendapatkan dalam satu rumah
ada 18 orang meninggal, maka mereka periksa barang-barangnya ternyata mereka
mendapati ada khomr yang disembunyikan, maka merekapun membuang dengan
menumpahkanya. Mereka menjenguk orang yang sakit yang sudah 7 hari sekarat,
maka si sakit memberi isyarat dengan jarinya ke tempat disembunyikan khomr,
maka merekapun menumpahkannya, lalu Allahpun menyelesaikan sakarat orang
tersebut, lalu meninggal. Dan sebelumnya barang siapa yang masuk rumah tersebut
maka meninggal. Siapa yang bersama wanita yang haram maka keduanya mati ketika
itu juga. Setiap dua orang muslim yang saling memboikot (tidak menyapa) dan
saling mengganggu serta tidak berdamai maka keduanya mati bersamaan. Siapa yang
masuk rumah untuk mengambil sesuatu barang yang tertinggal maka mereka
mendapatinya bersama barang tersebut dan ia dalam kondisi mati.
Ada seorang pengurus masjid meninggal dan ia meninggalkan 50
ribu dirham, maka tidak seorangpun yang menerimanya. Maka harta tersebut
diletakan di masjid selama 9 hari begitu saja. Maka masuklah 4 orang di malam
hari ke dalam masjid lalu merekapun mengambil harta tersebut ternyata mereka
meninggal di atas harta tersebut. Seseorang berwashiat kepada orang yang lain,
maka yang diwashiatkan ternyata lebih dahulu wafat sebelum yang berwashiat. Dan
mayoritas masjid-masjid tidak ada jamaátnya”
Wabah di Mesir (Bulan Ramadhan Tahun 749 H) Dan di Mesir
tersebar tho’un besar pada tahun 749 H.
Al-Miqrizi berkata: Al-Muntazhom
Fii Taariikh Al -Muluuk Wal Umam 16/17-18 Pada tahun itu (749 H) terjadi wabah
yang tidak pernah seperti itu sebelumnya dalam sejarah Islam. Wabah dimulai di
negeri Mesir …yaitu pada musim semi di tengah tahun 748 H. Dan tidaklah masuk
bulan Muharram tahun 749 H kecuali wabah tersebar di seluruh wilayah dan
semakin parah di negeri Mesir di bulan Sya’ban, Ramadhan, dan Syawwal dan baru
hilang di pertengahan bulan Dzulqo’dah. Dan yang meninggal perhari di Qohiroh
dan Mesir sekitar 10 ribu hingga 15 ribu hingga 20 ribu orang. Orang-orangpun
membuat tempat-tempat duduk yang panjang untuk pemadian mayat secara gratis
tanpa bayaran. Mayoritas orang-orang mengangkat mayat-mayat di atas papan-papan
kayu, mengangkut mayat pakai tangga-tangga, dan pakai pintu-pintu rumah.
Digalilah lubang-lubang lalu mayat-mayat dilemparkan di situ. Satu lubang bisa
untuk 30 hingga 40 mayat atau lebih. Kematian dengan wabah thoún adalah
seseorang meludahkan darah lalu berteriak lalu meninggal. Selain wabah ketika
itu harga naik meliputi seluruh tempat…. Dan orang-orangpun tinggal bersama
mayat-mayat mereka yang ditutup dengan tanah karena mereka tidak mampu untuk
menguburkan. Yang terjadi satu keluarga langsung meninggal bersamaan dan jumlah
mereka puluhan, maka mereka tidak mendapatkan kecuali satu keranda saja yang
mereka gunakan untuk mengangkat mayat satu demi satu. Banyak orang juga yang
menempati rumah-rumah orang lain, mengambil perabot dan harta tanpa hak karena
para pemiliknya telah meninggal, namun mayoritas mereka tidak sempat
memanfaatkan dan meninggal, dan yang masih hidup tidak membutuhkan lagi.
Acara-acara pesta walimah dibatalkan di masyarakat, dan
tidak dikenal seorangpun yang melakukan acara pernikahan di musim wabah, dan
tidak terdengar suara nyanyian (dari acara walimah). Azan tidak terdengar di
beberapa lokasi dan hanya tersisa satu azan di lokasi yang masyhur.”
Hal di atas juga dikatakan oleh sejarawan Ibnu Tagri Bardi
dengan tambahan keterangan:
اوزﻟاو ﺪﺟﺎسﳌا ﺮثﻛأ تﻘّلغو
“Dan mayoritas masjid-masjid dan Lorong-lorong ditutup.”
Wabah di Makkah (Tahun 827 H)
Di antaranya yang terjadi di Makkah di Al-Masjid Al-Harom
sekitar tahun 827 H(3) sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar
“Pada awal-awal tahun tersebut terjadi wabah yang besar
dimana di setiap harinya meninggal sebanyak empat puluh jiwa. Dan terhitung
yang meninggal pada bulan rabi’ul awal sebanyak seribu tujuh ratus jiwa. Dan
disebutkan bahwa imam al-Maqoom(1) tidak ada yang salat bersamanya pada
(1) Yang dimaksud dengan imam al-maqoom adalah imam dari
madzhab tertentu. Dahulu di mekah di arel sekitar ka’bah terdapat 4 maqoom,
yaitu semacam musholla kecil, yang dimana masing-masing imam madzhab mengimami
para pengikutnya di maqom tersebut. Jadi ada al-Maqoom asy-Syafií, al-Maqoom
al-Hanafi, al-Maqoom al-Maliki, dan al-Maqoom al-Hanbali. Ada yang mengatakan
bahwasanya maqom-maqom ini baru muncuk sekitar pertengahan abad ke 5.
Sebelumnya semua orang bermakmum kepada seorang imam saja. Namun pada tahun
1377 H pemerintah Arab Saudi menghancurkan ke 4 maqom tersebut demi persatuan dan
perluasan areal thowaf.
hari-hari tersebut kecuali dua orang. Dan imam-imam yang
lainnya tidak mengimami dikarenakan tidak
ada orang-orang yang
shalat bersama mereka.” (1 )
Wabah di Damaskus, Himsh, Iskandariah dan Qohiroh (Tahun 833
H)
Dan Al-Hafiz Ibnu Hajar ketika menceritakan
peristiwa-peristiwa tahun 833 H, diantaranya terjadi wabah thoún di Damaskus
dan Himsh. Beliau menjelaskan dampak penyebaran wabah setelah terjadi
perkumpulan manusia. Ia menyebutkan,
“Ketika masuk bulan Rabiúl Awal yang wafat di Qohiroh hanya
12 orang, dan di Robiul Akhir yang wafat mendekati 50 orang. Dan di hari
pertama di bulan Jumadil Ula yang wafat mencapai 100 orang. Maka diserukan
kepada masyarakat agar berpuasa sebanyak
tiga hari dan
untuk bertaubat, serta untuk
keluar ke padang
terbuka pada hari keempatnya. Maka keluarlah Ass-Syariif
(Katib as-Sir/semacam sekertaris kerajaan)
dan Hakim bermadzhab Syafií dan
banyak orang dari kalangan atas maupun orang-orang awam (menuju padang
terbuka). Merekapun ramai, menangis, dan berdoa, lalu mereka
pulang sebelum dzuhur.
Maka banyaklah yang meninggal bahkan berlipat-lipat ganda dari
jumlah sebelumnya, dan
yang meninggal dalam satu hari mencapai 300 orang khusus di Qohirah
saja…
Diantara peristiwa yang unik ada sebuah kapal dengan
penumpang 40 orang mereka bermaksud menuju kota As-Soíd, belum sampai ke kota
al-Maimun ternyata semuanya telah meninggal dunia. Ada juga 18 orang pemburu
yang berkumpul di suatu tempat, maka dalam satu hari 14 orang dari mereka meninggal,
maka sisanya 4 orang menguburkan mereka. Lalu tiga yang lainnya juga meninggal
tatkala mereka dalam perjalanan menuju kuburan. Takala sampai di kuburan maka
yang terakhir juga meninggal…. Dan di hari ke4 bulan Jumadal Ulaa jumlah yang
meninggal dalam sehari mencapai 1200 orang.
Beliau juga berkata :
“….dan pada pertengahan Jumadal Akhir Asy-Syarif (Katib
as-Sirr ) mengumpulkan empat puluh orang syarif/habib (yaitu keturunan Nabi
shallallahu álaihi wasallam) yang semuanya bernama
Muhammad dan membagikan kepada mereka harta. Kemudian
dibacakan setelah shalat Jumat di Al-Azhar Al-Quran sebisanya. Ketika mendekati
waktu ashar mereka berdoa dan menimbulkan suara ramai. Orang-orang pun semakin
banyak pada saat itu hingga empat puluh orang tersebut (yang bernama Muhammad
seluruhnya-pen ) naik ke atap lalu mereka semua mengumandangkan azan
(bersamaan) dan kembali. Dan sebagian orang non Arab berkata kepada Asy-Syarif:
sesungguhnya ini bisa menghilangkan tho’un” maka ia pun melakukan hal tersebut.
Dan tidak lah tho’un bertambah kecuali semakin banyak….” (1)
Dan Ibnu Hajar melanjutkan:
Ketika wabah semakin parah maka Sultan memerintahkan untuk
meminta fatwa kepada para ulama tentang kejadian wabah thoún, apakah
disyariátkan untuk berdoa agar dihilangkan wabah, atau disyariátkan untuk qunut
dalam shalat-shalat? Dan adakah sikap para ulama di zaman dahulu tentang hal
seperti ini?. Maka para ulama pun menuliskan jabawan mereka, dan berbeda-beda
pendapat mereka. Kesimpulannya disyariátkan berdoa dan merendahkan diri serta
bertaubat, dan bertaubat sebelumnya serta keluar dari bentuk-bentuk kedzaliman,
beramar ma’ruf dan bernahi mungkar. Namun mereka tidak mendapatkan dari seorang
salafpun bahwasanya dahulu para salaf berkumpul untuk berdoa, hanya saja dengan
berkumpul lebih diharapkan dikabulkan doa. Adapun ulama syafií berpendapat
untuk disyariátkan qunut, karena wabah thoún adalah musibah dan disyariátkan
untuk qunut pad setiap musibah. Adapun ulama maliki dan Hanafi melarang untuk
qunut. Adapun ulama hanbali maka mereka memiliki 2 riwayat, siapa yang
membolehkan maka mengkhususkannya dengan Imam Tertinggi (Sulton/Raja) namun
pada selain shalat jumát. Lalu para ulama dan para hakim dipanggil dihadapan
Sulthon, lalu dibacalah fatwa-fatwa tersebut dan dijelaskan isinya oleh
Muhibbuddin Ibnu Al-Aqshoroni. Lalu Sulton berkata, “Aku mengikuti para sahabat
dan para as-Salaf as-Shalih, dan aku tidak keluar (untuk berdoa bersama), akan
tetapi setiap orang berdoa kepada Allah sendiri-sendiri”… Dan Sulthon
memerintahkan para hakim dan para perjabat untuk memerintahkan masyarakat agar
bertaubat dan meninggalkan kemaksiatan, serta memperbanyak ketaatan dan yang
semisalnya. Dan kumandangkan pengumuman di Qohiroh untuk melarang para wanita
keluar ke lapangan dan mengancam penyewa tunggangan dengan digantung dan wanita
(yang melanggar) dengan ditenggelamkan”
Wabah di Mesir (Tahun 848 H)
Ibnu Hajar berkata :
Lalu masuk bulan Muharram (848 H ) pada hari senin,
sementara thoún semakin parah. Yang wafat setiap hari mencapai 120 ….dan
dikatakan lebih dari 200 orang. Mayoritas yang meninggal adalah anak-anak dan
budak. Kemudian tho’un semakin bertambah dan semakin menyebar hingga masuk
jamaáh haji (pulang dari Mekah), maka
semakin parah wabahnya. Banyak yang meninggal
dari anak-anak dan budak-budak.
Dan dikatakan jumlahnya melebihi
seribu jiwa yang meniggal di setiap harinya.” (2)
Ibnu Hajar juga pernah bercerita tentang seorang qodhi yang
sengaja tidak keluar rumah dengan berpura-pura sakit agar selamat dari thoún,
dan akhirnya dia selamat.
Beliau berkata
“ketika terjadi tho’un pada tahun tersebut sang Qodhi
ditimpa rasa takut yang teramat sangat hingga ia hanya bisa mencari-cari obat
yang bisa menghilangkan rasa takut tersebut. Dan dia banyak mengambil obat-obatan,
doa-doa, dan ruqyah-ruqyah. Kemudian
dia pura-pura sakit
agar (menjadi alasan) tidak
menghadiri orang yang meninggal, tidak dipanggil lepada
jenazah karena dia takut akan
kematian (dari wabah
tho’un), kemudian Allah subhanahu wa ta'ala menakdirkan dia selamat dari
tho’un. ”
Namun ada sebagian penukilan yang menyebutkan bahwa ada ada
sejarah juga yang mencatat bahwa ketika terjadi wabah para manusia berkumpul di
masjid. Sebagaimana yang dikatakan salah seorang sejarawan Syamsuddin Muhammad
bin Abdir Rahman Al-Qurosyi Ad-Dimasyqi As-Syafi’i dalam manuskrip kitabnya
menceritakan keadaan manusia ketika ditimpa tho’un pada tahun 764 H,
“dahulu manusia dalam
keadaan kebaikan yang besar berupa menghidupkan malam, puasa di waktu siang,
sedekah, dan taubat....maka kami para lelaki, anak-anak, dan para wanita
meninggalkan rumah-rumah kami dan berdiam di masjid -masjid.
Kesimpulan :
Apa yang kita alami sekarang ternyata jauh lebih ringan dari
wabah-wabah terdahulu. Dahulu ada yang sampai mayat tidak sempat dikuburkan,
sampai orang memakan anjing, bahkan ada yang menggali kubur untuk memakan
mayat.
Semua musibah yang menimpa (termasuk wabah) adalah
disebabkan oleh dosa-dosa kita. Tidak ada seorang pun diantara kita yang merasa
suci, baik rakyat maupun pejabat, baik murid maupun ustadz. Masing-masing
bergelimang dengan model dosanya masing-masing, baik dosa pandangan,
pendengaran, lisan, maupun hati.
Maka hendaknya kita bertaubat kepada Allah dan juga
berikhtiar sebagaimana anjuran pemerintah. Kita hanya berdoa dan berikhtiar
karena itulah yang dissyariátkan setelah itu tinggal menunggu taqdir Allah.
Kita selamat karena Allah kita terkena musibahpun karena ada hikmah yang Allah
kehendaki.
Jangan lupa memperbanyak ibadah di rumah, bukan malah
menghabiskan waktu dengan terus mengikuti berita-berita di medsos yang tiada
habisnya. Ada waktu untuk bermedsos tapi jangan sampai waktu untuk bertaubat
dan mendekat kepada Allah tidak terabaikan.
No comments:
Post a Comment