Friday, April 10, 2020

Sejarah Wabah di negeri-negeri Islam


Wabah di Ámwaas dekat Palestina (Tahun 18 H) Diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dalam Musnadnya, dari seseorang yang merupakan saksi

hidup wabah thoún Ámwas, ia berkata :

(1) Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan sejarah Thoún
yang terjadi di negeri-negeri Islam dengan ringkas di

hal 361-370 ﺑَﺬْلُ اﻟْﻤَﺎﻋُﻮْنِ ِ ﻓَﻀْﻞِ اﻟﻄﱠﻌُﻮْنِ kitabnya

Demikian juga banyak terjadi penutupan masjid akibat peristiwa-peristiwa   yang   lain.   Silahkan   lihat   di Akan  tetapi  pada  tulisan  ini  hanya  fokus  kepada tertutupnya masjid atau kosongnya masjid akibat wabah.

Ketika wabah merajalela, berdirilah Abu Ubaidah bin Jarrah berkhutbah di hadapan orang-orang dan berkata; "Wahai manusia! sesungguhnya penyakit ini merupakan rahmat dari Rabb kalian, doa Nabi kalian, dan sebab kematian orang-orang shalih sebelum kalian. Dan sesungguhnya Abu Ubaidah memohon kepada Allah untuk mendapat bagian dari rahmat tersebut." Lalu dia terjangkit wabah tersebut sehingga meninggal dunia -semoga Allah memberikan rahmat kepadanya.- kemudian Mu'adz bin Jabal menggantikan dia untuk memimpin orang-orang, kemudian dia dia berdiri menyampaikan khutbah setelah wafatnya Abu Ubaidah; "Wahai manusia, penyakit ini merupakan rahmat dari Rabb kalian, penyakit ini doanya Nabi kalian dan sebab kematiannya para orang-orang shalih sebelum kalian. Dan sesungguhnya Mu'adz memohon kepada Allah agar keluarga Mu'adz mendapat bagian dari rahmat tersebut." Kemudian Abdurrahman bin Mu'adz, anaknya terjangkit penyakit sampai meninggal. Dia pun bangkit memohon kepada Rabbnya untuk dirinya, dan akhirnya dia juga terjangkit di telapak tangannya. Sungguh saya melihatnya memperhatikan penyakit tersebut kemudian mencium bagian atas tangannya sambil berkata; "Aku tidak senang ada sesuatu dari dunia ada pada dirimu (berkata kepada telapak tangannya yang terkena tho’un)”. Ketika dia wafat, 'Amru bin Al Ash menggantikan kedudukannya untuk memimpin orang-orang. Kemudian dia berdiri menyampaikan khutbah di hadapan kami; "Wahai manusia! sesungguhnya jika wabah ini menjangkiti (di suatu negri) maka dia akan melahap sebagaimana menyalanya api, maka menghindarlah kalian ke gunung-gunung." Tetapi Abu Watsilah Al Hudzali berkata kepadanya; "Demi Allah, kamu telah berdusta, saya pernah menyertai Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan  kamu  lebih  buruk  daripada  keledaiku  ini." 'Amru  berkata;  " Demi  Allah  aku  tidak  akan membalas perkataanmu, demi Allah saya tidak akan memperkarakan perkataanmu itu." dia pun keluar  dan  orang -orangpun  keluar  berpencar darinya,  kemudian  Allah  melenyapkan  wabah tersebut  dari  mereka.  Ketika  pendapat  'Amru tersebut sampai kepada Umar bin Khaththab, demi Allah dia tidak membencinya."

Bahkan terdapat dalam riwayat lain dari Amr bin Al-Ash yang memerintahkan untuk menjauh dari keramaian dan mengasingkan diri ke puncak-puncak gunung dan lembah-lembah. (2) Dan dalam riwayat lain bahwa yang mendebat Amr bin Al-‘Ash adalah Syurahbil bin Hasanah,

“dari Syahr dari Abdurrahman bin Ghanm ia berkata, "Ketika penyakit tha'un melanda negeri Syam, maka Amru bin Ash berkhutbah seraya mengatakan, "Sesungguhnya penyakit tha'un ini adalah kotoran. Maka hendaklah kalian menghindar darinya dengan berpencar bukit-bukit dan lembah-lembah ini." Hal itu lalu sampai ke telinga [Syurahbil bin Hasanah], maka ia pun marah dan datang dengan menyeret kain dan menenteng sandalnya seraya berkata, "Saya telah berteman dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Amru itu lebih sesat daripada himar milik keluarganya. Akan tetapi hal itu adalah rahmat dari Rabb kalian, do'a dari Nabi kalian dan wafatnya orang-orang shalih sebelum kalian."

Sebab bantahan Syurahbil bin Hasanah terhadap ‘Amr bin Al’Ash karena ini merupakan perintah Nabi untuk tidak lari dari penyakit tho’un, sedangkan Amr bin Al-‘Ash mungkin memahami perintah untuk tidak lari dari tho’un adalah lari ke negara/kota lain yang dikhawatirkan tho’un tersebut menyebar ke kota lain dan larangan tersebut tidak berlaku ke daerah yang tidak ditempati orang-orang seperti puncak-puncak gunung ataupun lembah-lembah.

Dalam kisah di atas tidak disebutkan tentang kondisi masjid , akan tetapi dzohirnya masjid-masjid ditinggalkan di zaman ‘Amr bin al-‘Ash karena beliau memerintahkan orang-orang untuk menjauh pergi ke gunung-gunung.


Wabah di al-Qoairawan, Tunisia (Tahun 395 H) Sekitar tahun 395 H pernah terjadi wabah di Tunisia sebagaimana yang sebutkan oleh Ibnu Idzari Al-Marokisyi,

“Dahulu pada tahun 395 H di Afrika terdapat bencana besar yang menjadikan tirai-tirai tersingkap, orang-orang fakir meninggal, harta orang kaya ludes, harga-harga barang melambung tinggi, dan tidak adanya makanan pokok. Penduduk pedalaman meninggalkan kampung halaman mereka sehingga banyak rumah-rumah yang

kosong dan tidak tersisa orang yang mewarisinya. Kondisi genting ini disertai dengan wabah tho’un yang menyebabkan binasanya mayoritas orang-orang, baik orang kaya maupun orang miskin (yang butuh). Maka engkau tidak akan mendapati orang yang beraktifitas kecuali untuk berobat, mengunjungi orang yang sakit, menyiapkan untuk mengurus orang yang meninggal, mengiringi jenazah, atau kembali dari menguburkan jenazah.... maka meninggal bermacam-macam golongan manusia dari ulama, pedagang, wanita, dan anak-anak yang jumlahnya tidak ada yang bisa menghitungnya kecuali Sang Pencipta Allah subhanahu  wa  ta 'ala,  dan  masjid -masjid  di Qairawan pun kosong.

Wabah di Andalus (Tahun 448) Berkata adz-Dzahabi tentang kejadian tahun 448 H,

“dan terjadi pada tahun tersebut kemarau yang berkepanjangan dan wabah di Andalus. Dan banyak manusia yang meninggal di Ishbilia dimana masjid-masjid selalu tertutup karena tidak ada yang shalat di dalamnya. Dan dinamakan tahuntersebut dengan tahun kelaparan besar.” (2) Dan beliau juga berkata:
“dan kemarau sangat lama di Mesir dan Andalus. Dan tidak pernah terjadi kemarau dan wabah semisalnya di Qurtubah sehingga masjid-masjid selalu tertutup tanpa ada orang yang shalat. Dan tahun tersebut dinamakan dengan tahun kelaparan besar.”

Wabah di Ahwaz, dan juga di Kufah (Tahun 449 H) Berkata Ibnul Jauzi rahimahullah bercerita tentang kejadian tahun 449 H,

“Pada bulan Jumadil Akhir datang surat dari para pedang dari negeri-negeri waraa’an -Nahr : “Telah terjadi wabah yang besar yang melampaui batasnya di kota-kota ini. Sehingga keluar dari wilayah ini dalam satu hari delapan belas ribu jenazah. Dan terhitung yang meninggal hingga surat ini dituli sebanyak satu juta sembilan ratus lima puluh ribu jiwa. Dan orang-orang melewati kota ini mereka tidak melihat kecuali pasar-pasar dan  jalan-jalan  yang  kosong,  pintu-pintu  yang tertutup , hingga sapi-sapi binasa.”

Dan datang kabar dari Adzarbejan dan kota-kota disekitarnya adanya wabah yang dahsyat, dan tidak ada yang selamat kecuali sedikit. Dan terjadi wabah di Al-Ahwaaz dan di wilayah-wilayahnya, di Wasith, di An-Nil, dan di Muthorabadz. Wabah merata, sampai-sampai dibuat satu lubang lalu dilemparkan 20 sampai 30 mayat padanya. Kebanyakan sebab kematian miskin adalah kelaparan.          Orang-orang memanggang anjing, mereka menggali kubur lalu membakar mayat-mayat dan memakannya. Ada orang yang memiliki 2 petak tanah, lalu ada yang mau beli dengan harga 10 dinar, namun ia tidak menjualnya, maka tatkala itu ia menjualnya dengan 5 rithl (takaran ) roti , lalu ia memakan tersebut lalu ia mati seketika. Perdagangan ditutup demikian juga perkara-perkara dunia. Tidak ada kegiatan orang-orang siang dan malam kecuali hanya memandikan mayat dan menyiapkan penyelenggaraan   janazah   dan   penguburan. Seseorang duduk lalu jantungnya pun pecah dan darahpun keluar menuju mulutnya lalu menetes setetes darah lalu meninggal.

Orang-orangpun bertaubat seluruhnya, mereka bersedekah dengan mayoritas harta mereka. Bir-bir mereka buang, alat-alat musik mereka hancurkan, dan mereka melazimi masjid-masjid untuk membaca al-Qurán, terutama para pejabat dan orang-orang yang dzalim. Semua rumah yang ada khomr (bir)nya maka penghuninya wafat dalam satu malam. Mereka mendapatkan dalam satu rumah ada 18 orang meninggal, maka mereka periksa barang-barangnya ternyata mereka mendapati ada khomr yang disembunyikan, maka merekapun membuang dengan menumpahkanya. Mereka menjenguk orang yang sakit yang sudah 7 hari sekarat, maka si sakit memberi isyarat dengan jarinya ke tempat disembunyikan khomr, maka merekapun menumpahkannya, lalu Allahpun menyelesaikan sakarat orang tersebut, lalu meninggal. Dan sebelumnya barang siapa yang masuk rumah tersebut maka meninggal. Siapa yang bersama wanita yang haram maka keduanya mati ketika itu juga. Setiap dua orang muslim yang saling memboikot (tidak menyapa) dan saling mengganggu serta tidak berdamai maka keduanya mati bersamaan. Siapa yang masuk rumah untuk mengambil sesuatu barang yang tertinggal maka mereka mendapatinya bersama barang tersebut dan ia dalam kondisi mati.

Ada seorang pengurus masjid meninggal dan ia meninggalkan 50 ribu dirham, maka tidak seorangpun yang menerimanya. Maka harta tersebut diletakan di masjid selama 9 hari begitu saja. Maka masuklah 4 orang di malam hari ke dalam masjid lalu merekapun mengambil harta tersebut ternyata mereka meninggal di atas harta tersebut. Seseorang berwashiat kepada orang yang lain, maka yang diwashiatkan ternyata lebih dahulu wafat sebelum yang berwashiat. Dan mayoritas masjid-masjid tidak ada jamaátnya”

Wabah di Mesir (Bulan Ramadhan Tahun 749 H) Dan di Mesir tersebar tho’un besar pada tahun 749 H.

 Al-Miqrizi berkata: Al-Muntazhom Fii Taariikh Al -Muluuk Wal Umam 16/17-18 Pada tahun itu (749 H) terjadi wabah yang tidak pernah seperti itu sebelumnya dalam sejarah Islam. Wabah dimulai di negeri Mesir …yaitu pada musim semi di tengah tahun 748 H. Dan tidaklah masuk bulan Muharram tahun 749 H kecuali wabah tersebar di seluruh wilayah dan semakin parah di negeri Mesir di bulan Sya’ban, Ramadhan, dan Syawwal dan baru hilang di pertengahan bulan Dzulqo’dah. Dan yang meninggal perhari di Qohiroh dan Mesir sekitar 10 ribu hingga 15 ribu hingga 20 ribu orang. Orang-orangpun membuat tempat-tempat duduk yang panjang untuk pemadian mayat secara gratis tanpa bayaran. Mayoritas orang-orang mengangkat mayat-mayat di atas papan-papan kayu, mengangkut mayat pakai tangga-tangga, dan pakai pintu-pintu rumah. Digalilah lubang-lubang lalu mayat-mayat dilemparkan di situ. Satu lubang bisa untuk 30 hingga 40 mayat atau lebih. Kematian dengan wabah thoún adalah seseorang meludahkan darah lalu berteriak lalu meninggal. Selain wabah ketika itu harga naik meliputi seluruh tempat…. Dan orang-orangpun tinggal bersama mayat-mayat mereka yang ditutup dengan tanah karena mereka tidak mampu untuk menguburkan. Yang terjadi satu keluarga langsung meninggal bersamaan dan jumlah mereka puluhan, maka mereka tidak mendapatkan kecuali satu keranda saja yang mereka gunakan untuk mengangkat mayat satu demi satu. Banyak orang juga yang menempati rumah-rumah orang lain, mengambil perabot dan harta tanpa hak karena para pemiliknya telah meninggal, namun mayoritas mereka tidak sempat memanfaatkan dan meninggal, dan yang masih hidup tidak membutuhkan lagi.

Acara-acara pesta walimah dibatalkan di masyarakat, dan tidak dikenal seorangpun yang melakukan acara pernikahan di musim wabah, dan tidak terdengar suara nyanyian (dari acara walimah). Azan tidak terdengar di beberapa lokasi dan hanya tersisa satu azan di lokasi yang masyhur.”

Hal di atas juga dikatakan oleh sejarawan Ibnu Tagri Bardi dengan tambahan keterangan:

اوزﻟاو ﺪﺟﺎسا ﺮثﻛأ تﻘّلغو

“Dan mayoritas masjid-masjid dan Lorong-lorong ditutup.”

Wabah di Makkah (Tahun 827 H)

Di antaranya yang terjadi di Makkah di Al-Masjid Al-Harom sekitar tahun 827 H(3) sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar
“Pada awal-awal tahun tersebut terjadi wabah yang besar dimana di setiap harinya meninggal sebanyak empat puluh jiwa. Dan terhitung yang meninggal pada bulan rabi’ul awal sebanyak seribu tujuh ratus jiwa. Dan disebutkan bahwa imam al-Maqoom(1) tidak ada yang salat bersamanya pada
(1) Yang dimaksud dengan imam al-maqoom adalah imam dari madzhab tertentu. Dahulu di mekah di arel sekitar ka’bah terdapat 4 maqoom, yaitu semacam musholla kecil, yang dimana masing-masing imam madzhab mengimami para pengikutnya di maqom tersebut. Jadi ada al-Maqoom asy-Syafií, al-Maqoom al-Hanafi, al-Maqoom al-Maliki, dan al-Maqoom al-Hanbali. Ada yang mengatakan bahwasanya maqom-maqom ini baru muncuk sekitar pertengahan abad ke 5. Sebelumnya semua orang bermakmum kepada seorang imam saja. Namun pada tahun 1377 H pemerintah Arab Saudi menghancurkan ke 4 maqom tersebut demi persatuan dan perluasan areal thowaf.
hari-hari tersebut kecuali dua orang. Dan imam-imam yang lainnya tidak mengimami dikarenakan tidak  ada  orang-orang  yang  shalat  bersama mereka.” (1 )

Wabah di Damaskus, Himsh, Iskandariah dan Qohiroh (Tahun 833 H)

Dan Al-Hafiz Ibnu Hajar ketika menceritakan peristiwa-peristiwa tahun 833 H, diantaranya terjadi wabah thoún di Damaskus dan Himsh. Beliau menjelaskan dampak penyebaran wabah setelah terjadi perkumpulan manusia. Ia menyebutkan,

“Ketika masuk bulan Rabiúl Awal yang wafat di Qohiroh hanya 12 orang, dan di Robiul Akhir yang wafat mendekati 50 orang. Dan di hari pertama di bulan Jumadil Ula yang wafat mencapai 100 orang. Maka diserukan kepada masyarakat agar berpuasa sebanyak  tiga  hari  dan  untuk  bertaubat,  serta untuk  keluar  ke  padang  terbuka  pada  hari keempatnya. Maka keluarlah Ass-Syariif (Katib as-Sir/semacam  sekertaris  kerajaan)  dan  Hakim bermadzhab Syafií dan banyak orang dari kalangan atas maupun orang-orang awam (menuju padang terbuka). Merekapun ramai, menangis, dan berdoa, lalu  mereka  pulang  sebelum  dzuhur.  Maka banyaklah yang meninggal bahkan berlipat-lipat ganda  dari  jumlah  sebelumnya,  dan  yang meninggal dalam satu hari mencapai 300 orang khusus di Qohirah saja…

Diantara peristiwa yang unik ada sebuah kapal dengan penumpang 40 orang mereka bermaksud menuju kota As-Soíd, belum sampai ke kota al-Maimun ternyata semuanya telah meninggal dunia. Ada juga 18 orang pemburu yang berkumpul di suatu tempat, maka dalam satu hari 14 orang dari mereka meninggal, maka sisanya 4 orang menguburkan mereka. Lalu tiga yang lainnya juga meninggal tatkala mereka dalam perjalanan menuju kuburan. Takala sampai di kuburan maka yang terakhir juga meninggal…. Dan di hari ke4 bulan Jumadal Ulaa jumlah yang meninggal dalam sehari mencapai 1200 orang.

Beliau juga berkata :

“….dan pada pertengahan Jumadal Akhir Asy-Syarif (Katib as-Sirr ) mengumpulkan empat puluh orang syarif/habib (yaitu keturunan Nabi shallallahu álaihi wasallam) yang semuanya bernama
Muhammad dan membagikan kepada mereka harta. Kemudian dibacakan setelah shalat Jumat di Al-Azhar Al-Quran sebisanya. Ketika mendekati waktu ashar mereka berdoa dan menimbulkan suara ramai. Orang-orang pun semakin banyak pada saat itu hingga empat puluh orang tersebut (yang bernama Muhammad seluruhnya-pen ) naik ke atap lalu mereka semua mengumandangkan azan (bersamaan) dan kembali. Dan sebagian orang non Arab berkata kepada Asy-Syarif: sesungguhnya ini bisa menghilangkan tho’un” maka ia pun melakukan hal tersebut. Dan tidak lah tho’un bertambah kecuali semakin banyak….” (1)

Dan Ibnu Hajar melanjutkan:
Ketika wabah semakin parah maka Sultan memerintahkan untuk meminta fatwa kepada para ulama tentang kejadian wabah thoún, apakah disyariátkan untuk berdoa agar dihilangkan wabah, atau disyariátkan untuk qunut dalam shalat-shalat? Dan adakah sikap para ulama di zaman dahulu tentang hal seperti ini?. Maka para ulama pun menuliskan jabawan mereka, dan berbeda-beda pendapat mereka. Kesimpulannya disyariátkan berdoa dan merendahkan diri serta bertaubat, dan bertaubat sebelumnya serta keluar dari bentuk-bentuk kedzaliman, beramar ma’ruf dan bernahi mungkar. Namun mereka tidak mendapatkan dari seorang salafpun bahwasanya dahulu para salaf berkumpul untuk berdoa, hanya saja dengan berkumpul lebih diharapkan dikabulkan doa. Adapun ulama syafií berpendapat untuk disyariátkan qunut, karena wabah thoún adalah musibah dan disyariátkan untuk qunut pad setiap musibah. Adapun ulama maliki dan Hanafi melarang untuk qunut. Adapun ulama hanbali maka mereka memiliki 2 riwayat, siapa yang membolehkan maka mengkhususkannya dengan Imam Tertinggi (Sulton/Raja) namun pada selain shalat jumát. Lalu para ulama dan para hakim dipanggil dihadapan Sulthon, lalu dibacalah fatwa-fatwa tersebut dan dijelaskan isinya oleh Muhibbuddin Ibnu Al-Aqshoroni. Lalu Sulton berkata, “Aku mengikuti para sahabat dan para as-Salaf as-Shalih, dan aku tidak keluar (untuk berdoa bersama), akan tetapi setiap orang berdoa kepada Allah sendiri-sendiri”… Dan Sulthon memerintahkan para hakim dan para perjabat untuk memerintahkan masyarakat agar bertaubat dan meninggalkan kemaksiatan, serta memperbanyak ketaatan dan yang semisalnya. Dan kumandangkan pengumuman di Qohiroh untuk melarang para wanita keluar ke lapangan dan mengancam penyewa tunggangan dengan digantung dan wanita (yang melanggar) dengan ditenggelamkan”

Wabah di Mesir (Tahun 848 H)

Ibnu Hajar berkata :
Lalu masuk bulan Muharram (848 H ) pada hari senin, sementara thoún semakin parah. Yang wafat setiap hari mencapai 120 ….dan dikatakan lebih dari 200 orang. Mayoritas yang meninggal adalah anak-anak dan budak. Kemudian tho’un semakin bertambah dan semakin menyebar hingga masuk jamaáh haji (pulang dari Mekah),  maka semakin parah wabahnya.  Banyak yang meninggal dari anak-anak  dan  budak-budak.  Dan  dikatakan jumlahnya melebihi seribu jiwa yang meniggal di setiap harinya.” (2)
Ibnu Hajar juga pernah bercerita tentang seorang qodhi yang sengaja tidak keluar rumah dengan berpura-pura sakit agar selamat dari thoún, dan akhirnya dia selamat.

 Beliau berkata
“ketika terjadi tho’un pada tahun tersebut sang Qodhi ditimpa rasa takut yang teramat sangat hingga ia hanya bisa mencari-cari obat yang bisa menghilangkan rasa takut tersebut. Dan dia banyak mengambil  obat-obatan,  doa-doa,  dan  ruqyah-ruqyah.  Kemudian  dia  pura-pura  sakit  agar (menjadi  alasan)  tidak  menghadiri  orang  yang meninggal, tidak dipanggil lepada jenazah karena dia  takut  akan  kematian  (dari  wabah  tho’un), kemudian Allah subhanahu wa ta'ala menakdirkan dia selamat dari tho’un. ”

Namun ada sebagian penukilan yang menyebutkan bahwa ada ada sejarah juga yang mencatat bahwa ketika terjadi wabah para manusia berkumpul di masjid. Sebagaimana yang dikatakan salah seorang sejarawan Syamsuddin Muhammad bin Abdir Rahman Al-Qurosyi Ad-Dimasyqi As-Syafi’i dalam manuskrip kitabnya menceritakan keadaan manusia ketika ditimpa tho’un pada tahun 764 H,

 “dahulu manusia dalam keadaan kebaikan yang besar berupa menghidupkan malam, puasa di waktu siang, sedekah, dan taubat....maka kami para lelaki, anak-anak, dan para wanita meninggalkan rumah-rumah kami dan berdiam di masjid -masjid.

Kesimpulan :

Apa yang kita alami sekarang ternyata jauh lebih ringan dari wabah-wabah terdahulu. Dahulu ada yang sampai mayat tidak sempat dikuburkan, sampai orang memakan anjing, bahkan ada yang menggali kubur untuk memakan mayat.

Semua musibah yang menimpa (termasuk wabah) adalah disebabkan oleh dosa-dosa kita. Tidak ada seorang pun diantara kita yang merasa suci, baik rakyat maupun pejabat, baik murid maupun ustadz. Masing-masing bergelimang dengan model dosanya masing-masing, baik dosa pandangan, pendengaran, lisan, maupun hati.

Maka hendaknya kita bertaubat kepada Allah dan juga berikhtiar sebagaimana anjuran pemerintah. Kita hanya berdoa dan berikhtiar karena itulah yang dissyariátkan setelah itu tinggal menunggu taqdir Allah. Kita selamat karena Allah kita terkena musibahpun karena ada hikmah yang Allah kehendaki.

Jangan lupa memperbanyak ibadah di rumah, bukan malah menghabiskan waktu dengan terus mengikuti berita-berita di medsos yang tiada habisnya. Ada waktu untuk bermedsos tapi jangan sampai waktu untuk bertaubat dan mendekat kepada Allah tidak terabaikan.


No comments:

Post a Comment