بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَٰذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وسلم وبارك عَلَى نبينَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَ أصَحابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ
Karena kita sekarang sedang berada di bulan Sya'ban bulan sebelum bulan Ramadhan, maka pas sekali kita berbicara tentang amalan yang disyari'atkan di bulan Sya'ban ini. Dan keutamaan mengamalkan amalan tersebut, demikian pula beberapa fiqih atau hukum yang berkaitan dengan amalan tersebut.
Kita berbicara tentang keutaman agar timbul dalam diri kita semangat dan motivasi untuk beramal di bulan ini.
Kemudian kita berbicara tentang fiqih supaya semangat yang timbul di dalam hati kita diimbangi dengan ilmu. Jangan sampai seperti yang dilakukan oleh sebagian orang yang memiliki semangat di dalam beramal shālih tetapi tidak diimbangi dan diiringi dengan ilmu agama. Sehingga mereka terjatuh di dalam amalan yang justru menjadi murka Allāh Azza wa Jalla.
Amalan yang tidak sesuai dengan sunnah, amalan yang tidak pernah diajarkan oleh Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam.
In syā Allāh, kita akan sebutkan beberapa keutamaan bulan Sya'ban dan keutamaan beramal didalamnya, dilanjutkan dengan beberapa hal yang berkaitan dengan fiqih dan hukum yang berkaitan dengan bulan Sya'ban ini.
Ikhwāniy Fīdīn wa Akhawātiy Fīllāh A'ādzaniyallāh wa Iyyakum.
Allāh Subhānahu wa Ta'āla adalah Ar-Rahman Ar-Rahīm, menginginkan kebaikan bagi hambanya, menginginkan mereka berbahagia di dunia juga di akhirat. Dan diantara rahmat Allāh Azza wa Jalla adalah menjadikan sebagian bulan sebagai bulan-bulan musim untuk beramal.
Yang di dalamnya diharapkan kaum muslim berlomba-lomba, berpacu dengan yang lain di dalam mendekatkan diri mereka kepada Allāh Azza wa Jalla. Dan diantara bulan yang disitu kita di dorong dan di motivasi untuk beramal adalah bulan Sya'ban.
Dinamakan dengan bulan Sya'ban sebagian ulama mengatakan di ambil dari kata تَشَعَّبَ - يَتَشَعَّبُ yang artinya adalah berpencar.
Berkata Ibnu Hajar rahimahullah di dalam kitab beliau Fathu Bari:
وسمي شعبان لتشعبهم في طلب المياه أو في الغارات بعد أن يخرج شهر رجب الحرام (فتح الباري 4/213).
"Dinamakan dengan bulan Syaban karena mereka (yaitu orang-orang Arab) dahulu berpencar di dalam mencari air atau di gua-gua setelah keluarnya bulan Rajab yang merupakan salah satu bulan haram"
Ini adalah di antara pendapat kenapa dinamakan Syaban dengan Syaban, karena manusia berpencar di bulan tersebut untuk mencari air.
====================================================================
Keutamaan Bulan Sya’ban
Ikhwāniy Fīdīn wa Akhawātiy Fīllāh A'ādzaniyallāh wa Iyyakum.
Kita berbicara tentang Keutamaan bulan Syaban, disebutkan di dalam beberapa hadīts di antaranya:
(1). Bahwasanya bulan ini adalah bulan diangkatnya amal shalih kepada Allah ﷻ, kemudian setelah itu Allah menerima di antara amal shalih yang kita kerjakan tersebut apa yang Dia kehendaki.
Apabila amal shalih tersebut ikhlas sesuai dengan Sunnah diterima oleh Allah ﷻ, (tetapi) jika tidak terpenuhi syaratnya maka tidak diterima oleh Allah.
Dalil bahwa bulan Syaban ini diangkat amal shalih kepada Allah adalah sebuah hadits yang dihasankan oleh Syaikh Al-Albāniy rahimahullah dan diriwayatkan oleh Imam An-Nassai di dalam Sunnannya.
Bahwasanya Usamah ibnu Zaid pernah berkata kepada Rasulullah ﷺ:
قلت يَا رَسُولَ اللَّهِ لَمْ أَرَكَ تَصُومُ شَهْرًا مِنْ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ
Aku mengatakan, "Wahai Rasulullah aku tidak pernah melihat engkau berpuasa di sebuah bulan yang lebih banyak puasanya daripada puasamu di bulan Syaban”.
Maksud Usamah di sini adalah bertanya dan apa hikmahnya? Di bulan yang lain beliau juga berpuasa tetapi tidak sebanyak puasa beliau di bulan Syaban.
قَالَ ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ
“Kemudian Nabi ﷺ mengatakan: “Ini adalah bulan dimana manusia banyak yang lalai (dari amal shalih) bulan ini berada antara bulan Rajab dan bulan Ramadhan”.”
Bulan Rajab termasuk bulan haram karena ada empat bulan yang merupakan bulan-bulan haram yaitu Dzulqadah, Dzulhijjah, Al-Muharram, ini tiga bulan secara berturut-turut adalah bulan haram, yang keempat adalah bulan Rajab.
Dan diutamakan mengerjakan amal-amal shalih di bulan haram, dan di situ manusia bersemangat untuk beramal karena dia termasuk bulan haram.
Bulan Ramadhan adalah bulan mulia dan bulan yang paling afdhal, di dalamnya manusia banyak sibuk dalam ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla.
Maka di bulan Syaban kata Beliau ﷺ banyak manusia yang lalai dari amal shalih.
وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Dan dia adalah bulan diangkat di dalamnya amal shalih kepada Allah Rabbul Alamin.”
Maka Rasulullah ingin mengisi bulan Syaban ini dengan amal shalih dan melakukan ibadah di saat manusia lalai memiliki keutamaan.
Seseorang ingat kepada Allah dan beribadah kepada Allah di waktu kebanyakan manusia lalai di dalamnya, maka ini memiliki kelebihan dan keutamaan yang besar di sisi Allah Azza wa Jalla.
Sebagaimana di dalam sebuah hadits ketika beliau shallallahu 'alayhi wa sallam menunjukkan tentang keutamaan beribadah di waktu fitnah. Ketika terjadi fitnah besar menimpa orang banyak sehingga manusia lalai, mereka semua terlelap dengan fitnah tersebut.
Banyak manusia yang lalai dari dzikurullah dari ibadah, kemudian ada sebagian manusia dalam keadaan fitnah tersebut tidak menurunkan semangatnya untuk terus beribadah kepada Allah Azza wa Jalla. Terus membaca Al-Qur'an, melakukan puasa, terus menjaga shalatnya.
Fitnah yang ada tidak mengendorkan semangatnya untuk beribadah.
Maka Nabi ﷺ mengabarkan:
الْعِبَادَةُ فِي الْهَرْجِ كَهِجْرَةٍ إِلَىَّ
"Beribadah di waktu terjadinya fitnah seperti hijrah kepadaku (Rasulullah ﷺ).”
Ini menunjukkan tentang besarnya melakukan ibadah di waktu fitnah, orang lain dalam keadaan lalai, dalam keadaan takut, dalam keadaan bingung, dia terus beribadah kepada Allah Azza wa Jalla.
Demikian pula kita mengetahui tentang keutamaan yang besar bagi orang yang melakukan shalat malam hari, di antara hikmahnya yaitu manusia dalam keadaan terlelap dengan tidurnya, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan shalat di waktu tersebut adalah seutama-utama amalan. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
أَفْضَلُ الصَّلَاةِ ، بَعْدَ الْمَكْتُوبَةِ ، الصَّلَاةُ فِي جَوْفِ اللَّيْلِ
"Sebaik-baik shalat setelah shalat fardhu adalah shalat malam"
Di antara hikmahnya karena manusia pada saat itu dalam keadaan lalai, berat untuk melakukan shalat, kemudian ada sebagian hamba Allah Azza wa Jalla yang bangun di waktu tersebut dan meninggalkan kenikmatan di dalam tidur kemudian dia menghadap Allah Azza wa Jalla.
Hikmah berpuasa di bulan Syaban adalah seseorang melakukan ibadah (menyibukkan ibadah) di saat kebanyakan manusia lalai dari ibadah. Inilah rahasia (keutamaan) kenapa Nabi ﷺ memperbanyak puasa di bulan Syaban.
Kemudian rahasia kedua, karena di bulan ini (Sya'ban) diangkat amalan kepada Allāh Rabbil'ālamīn.
Diangkat amalan ada yang sifatnya harian, ada yang sifatnya mingguan dan ada yang sifatnya tahunan.
Adapun yang harian di antara dalīlnya adalah sabda Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhāri dari Abū Hurairah radhiyallahu 'anhu.
Bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan:
يَتَعَاقَبُونَ فِيكُمْ مَلاَئِكَةٌ بِاللَّيْلِ وَمَلاَئِكَةٌ بِالنَّهَارِ وَيَجْتَمِعُونَ فِى صَلاَةِ الْفَجْرِ وَصَلاَةِ الْعَصْرِ ثُمَّ يَعْرُجُ الَّذِينَ بَاتُوا فِيكُمْ فَيَسْأَلُهُمْ رَبُّهُمْ وَهُوَ أَعْلَمُ بِهِمْ كَيْفَ تَرَكْتُمْ عِبَادِى فَيَقُولُونَ تَرَكْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّونَ وَأَتَيْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّون
"Bergantian di antara kalian malāikat di waktu malam dan malāikat di waktu siang, dan mereka berkumpul di waktu shalāt Shubuh dan shalāt Ashar, kemudian malāikat yang bermalam bersama kalian naik ke atas.
Allāh menanyakan kepada mereka, padahal Dia lebih mengetahui dari mereka, “Dalam keadaan apakah kalian tinggalkan hamba-hamba-Ku?”
Mereka menjawab, “Kami tinggalkan mereka dalam keadaan mengerjakan shalāt.”
⇒ Ini menunjukkan tentang keutamaan menjaga shalāt Shubuh secara berjamaah.
“Dan kami mendatangi mereka kemarin ketika mereka dalam keadaan shalāt Ashar.”
⇒ Ini menunjukkan tentang keutamaan menjaga shalāt Ashar.
Shalāt Shubuh dan shalāt Ashar banyak manusia yang ketinggalan, karena biasanya shalāt Shubuh setelah waktu istirahat yang panjang. Demikian pula shalāt Ashar manusia di waktu siang dalam keadaan istirahat.
Hadīts ini menunjukkan tentang keutamaan menjaga shalāt berjama'ah khususnya shalāt Shubuh dan shalāt Ashar.
Ini yang sifatnya harian, di sana ada yang sifatnya mingguan, sebagaimana di dalam hadīts yang diriwayatkan oleh An-Nassāi dan hadīts ini adalah hadīts yang hasan shahīh.
Dari ‘Usamah bin Zaid, beliau mengatakan:
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّكَ تَصُومُ حَتَّى لاَ تَكَادَ تُفْطِرُ وَتُفْطِرُ حَتَّى لاَ تَكَادَ أَنْ تَصُومَ إِلاَّ يَوْمَيْنِ إِنْ دَخَلاَ فِي صِيَامِكَ وَإِلاَّ صُمْتَهُمَا
Wahai Rasūlullāh, “Engkau berpuasa sehingga seakan-akan engkau tidak berbuka dan engkau berbuka puasa seakan-akan engkau tidak pernah berpuasa kecuali dua hari, apabila dia masuk di dalam puasamu dan kecuali engkau berpuasa pada dua hari tersebut."
قَالَ : أَىُّ يَوْمَيْنِ
Kemudian Nabi mengatakan, "Apa dua hari yang engkau maksud?"
قُلْتُ يَوْمَ الاِثْنَيْنِ وَيَوْمَ الْخَمِيسِ
Aku (‘Usamah) berkata: “Dua hari yang saya maksud adalah hari Senin dan hari Kamis.”
قَالَ: ذَانِكَ يَوْمَانِ تُعْرَضُ فِيهِمَا الأَعْمَالُ عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِم
Nabi mengatakan, “Dua hari tersebut adalah dua hari dimana ditampakkan amal kepada Allāh Rabbul'alamin. Maka aku senang apabila ditampakkan amalanku dan aku sedang dalam keadaan berpuasa”.
⇒ Ini adalah diangkatnya amalan mingguan.
Dan di sana ada penampakan amalan dan diangkatnya amalan seluruh amalan yang dilakukan oleh seseorang selama satu tahun.
Kapan terjadinya? Di bulan Sya'ban
Maka diangkat amalan para hamba kepada Allāh 'Azza wa Jalla, setiap tahun secara keseluruhan di bulan ini (Sya'ban).
Inilah yang dimaksud dari hadīts tadi kenapa Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam banyak berpuasa di bulan Sya'ban, karena disamping bulan Sya'ban adalah bulan dimana banyak manusia lalai dan di bulan ini diangkat amalan kepada Allāh 'Azza wa Jalla.
Keutamaan selanjutnya, bahwasanya di bulan ini ada waktu di mana Allāh Subhānahu wa Ta'āla akan mengampuni dosa bagi seluruh hamba. Sebagaimana dalam hadīts yang diriwayatkan oleh Ibnu Mājah dan hadīts ini dihasankan oleh Syaikh Al-Albāniy rahimahullāh.
Bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan:
إِنَّ اللَّهَ لَيَطَّلِعُ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ
"Sesungguhnya Allāh Ta'āla melihat pada malam nishf min Sya'ban (yaitu malam pertengahan bulan Sya’ban, malam tanggal 15), maka Allāh mengampuni untuk seluruh hambanya, kecuali ada dua golongan yang tidak akan diampuni oleh Allāh pada malam tersebut yaitu orang yang menyekutukan Allāh atau orang yang sedang punya masalah dengan saudara semuslim.”
Maksud dosa yang diampuni adalah dosa-dosa kecil, sedangkan dosa besar jumhur ulama mengatakan tidak dihapus kecuali dengan melakukan taubat yang nasuha.
Ada dua golongan yang tidak diampuni oleh Allāh pada malam tersebut, yaitu:
• Yang Pertama | Musyrik (orang yang menyekutukan Allāh), maka orang yang menyekutukan Allāh tidak mendapatkan keutamaan ini, dan ini menunjukkan bahayanya syirik.
⇒ Di antara bahayanya adalah orang yang melakukannya (menyekutukan Allāh) tidak mendapatkan ampunan dari Allāh Azza wa Jalla.
Dalam sebuah ayat Allāh mengatakan:
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِۦ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُ
"Sesungguhnya Allāh tidak mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni dosa yang lain bagi siapa yang dikehendaki.” (QS An-Nissā: 48)
Seseorang meninggal dunia dalam keadaan dia tidak bertaubat kepada Allāh dari dosa syiriknya, kemudian bertemu Allāh pada hari kiamat maka tidak akan diampuni dosanya.
Dan dalam sebuah hadīts Allāh Subhānahu wa Ta'āla mengatakan di dalam hadīts qudsi 2741:
يَا ابْنَ ادَمَ : إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ الأَرْضِ خَطَايا ثُمَّ لَقِيتَني لَا تُشْرِكُ بِي شَيْأً ، لَأَتيْتُكَ بِقُرَابِها مَغْفِرَةً
"Wahai anak Adam, seandainya engkau datang kepadaku dengan dosa sepenuh bumi, kemudian engkau bertemu dengan-Ku dalam keadaan engkau tidak menyekutukan Aku dengan sesuatu apapun, niscaya Aku akan mendatangkan dirimu dengan ampunan sepenuh bumi.”
Seandainya seseorang datang kepada Allāh dengan dosa yang banyak sepenuh bumi, kemudian bertemu dengan Allāh, kemudian dia datang kepada Allāh dalam keadaan tidak menyekutukan Allāh dengan sesuatu apapun.
Maka Allāh menjanjikan akan mendatangkan ampunan sepenuh bumi dengan syarat tidak menyekutukan Allāh dengan sesuatu apapun.
Kesyirikan adalah dosa yang paling besar dan tidak akan diampuni apabila seseorang meninggal dunia dalam keadaan tidak bertaubat dari dosa syirik ini.
أَوْ مُشَاحِنٍ
• Yang Kedua | Orang yang sedang punya masalah dengan saudara semuslim, sedang tidak saling berbicara satu dengan yang lain, tidak saling menyapa.
Maka orang yang demikian termasuk orang yang tidak mendapatkan keutamaan pada malam tersebut yaitu tidak diampuni dosa-dosa kecil yang dia miliki.
Dan ini menunjukkan tentang bahayanya orang yang memiliki pertengkaran dengan saudaranya.
Oleh karena itu seorang muslim apabila terjadi sesuatu antara dirinya dengan saudaranya maka segera dia meminta maaf, memerangi hawa nafsu yang ada di dalam dirinya, dan lebih mendahulukan ridhā Allāh daripada hawa nafsunya.
Berjuang melawan bisikan-bisikan syaithan, segera dia selesaikan masalahnya antara dirinya dengan saudara yang lain.
Jangan sampai berlarut-larut, tidak pernah menyapa, tidak pernah salam antara satu dengan yang lain. Sehingga akibatnya dia tidak mendapatkan karunia dan anugerah Allāh yang besar. Di antaranya adalah ampunan yang Allāh berikan pada malam Nishf Sya'ban (malam pertengahan bulan Sya'ban).
Ikhwāniy Fīdīn wa Akhawātiy Fīllāh A'ādzaniyallāh wa Iyyakum.
Disebutkan dalam sebagian riwayat dengan lafadz ينزل yaitu Allāh turun pada malam tersebut, dan ini tidak ada pertentangan antara satu lafadz dengan lafadz yang lain. Dan kalimat turun bukan berarti bertentangan dengan kalimat Allāh Subhānahu wa Ta'āla melihat.
Apabila lafadz tersebut tetap di dalam hadīts yang shahīh, maka kita harus imani dengan keyakinan bahwasanya turunnya Allāh Azza wa Jalla adalah turunnya Allāh sesuai dengan keagungan-Nya tidak sama dengan turunnya makhluk.
ۚلَيْسَ كَمِثْلِهِۦ شَىْءٌۭ ۖ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ
"Tidak ada yang serupa dengan Allāh dan Dia adalah Dzat yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS Asy-Syura: 11)
Oleh karena itu dengan banyaknya keutamaan tadi, Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam memperbanyak puasa di bulan Sya'ban. sebagaimana dalam hadīts Usamah bin Zaid.
Demikian pula diceritakan oleh Āisyah radhiyallāhu 'anhā:
لَمْ يَكُنْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ
Jadi yang melihat puasanya Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam di bulan Sya'ban dan banyaknya beliau berpuasa bukan hanya Usamah tetapi Āisyah pun melihat.
Beliau mengatakan: "Tidaklah Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam berpuasa dalam sebuah bulan lebih banyak daripada di bulan Sya'ban, karena dahulu Beliau melakukan puasa di bulan Sya'ban semuanya”.
(Hadits riwayat Al-Bukhāri dan Muslim)
Yang dimaksud dengan كُلَّهُ (semuanya) di sini, diterangkan dalam riwayat yang lain, maksud كُلَّهُ di sini adalah sebagian besar.
Di dalam riwayat yang lain disebutkan, bahwasanya Āisyah radhiyallāhu 'anhā mengatakan:
فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ،
"Aku tidak pernah melihat Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menyempurnakan puasa di sebuah bulan kecuali bulan Ramadhan.”
Jadi yang sempurna satu bulan semuanya hanya dilakukan di bulan Ramadhan, adapun selain itu maka beliau tidak menyempurnakan puasa selama satu bulan.
وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ.
"Aku tidak pernah melihat Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallah lebih banyak puasa di sebuah bulan daripada di bulan Sya’ban.”
Oleh karena itu sebagian Salaf seperti Abdullāh Ibnu Mubarak menyebutkan, bahwasanya orang Arab terkadang menyatakan كُلَّهُ maksudnya adalah sebagian besar.
Mereka mengatakan كُلَّهُ (semuanya) dan maksudnya adalah sebagian besar.
Demikian pula seandainya maksud dari puasa Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam di bulan Sya'ban adalah seluruh bulan Sya'ban, niscaya amalan ini sudah tersebar dan sudah di nukil oleh banyak sahabat Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.
Tapi tidak ada di sana nukilan bahwasanya para Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam berpuasa di bulan Sya'ban secara keseluruhan
‘Alā kulli hal, ucapan ‘Āisyah radhiyallāhu 'anhā yang mengatakan bahwasanya beliau berpuasa di bulan Sya'ban semuanya dijelaskan oleh riwayat yang lain yang menunjukkan bahwasanya Beliau shallallāhu 'alayhi wa sallam tidak berpuasa pada seluruh bulan Sya'ban tersebut, tetapi hanya sebagian besar saja.
Ikhwāniy Fīdīn wa Akhawātiy Fīllāh A'ādzaniyallāh wa Iyyakum.
Di sana ada sebuah hadīts yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan juga Ashhabus Sunan yaitu para Imam yang menulis kitāb Sunan, seperti Abū Dāwūd At-Tirmidzī, An-Nassai dan Ibnu Mājah.
Dari Abū Hurairah radhiyallāhu 'anhu bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan:
إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ فَلاَ تَصُومُواحَتَّى يَكُونَ رَمَضَانُ
"Apabila sudah datang pertengahan Sya'ban, maka janganlah kalian berpuasa sampai datang bulan Ramadhan.”
Hadīts ini dhahirnya menunjukkan, "Bahwasanya kalau sudah pertengahan bulan Sya'ban kita tidak perlu berpuasa, sampai datang bulan Ramadhan baru kita memulai puasa kembali".
Bagaimana kita memahami hadīts ini dengan hadīts yang isinya bahwasanya Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam berpuasa pada sebagian besar Sya'ban (sebagian besar berarti lebih dari separuh).
Maka di sana ada beberapa penjelasan:
⑴ Hadīts ini telah didhaifkan oleh sebagian ulama. Karena di dalam sanadnya ada seorang rawi, Al-‘Ala Ibnu Aburrahman. Meskipun beliau adalah seorang shaduq tetapi para ulama menjelaskan bahwasanya beliau memiliki beberapa wahm yaitu persangkaan kesalahan di dalam menyebutkan hadīts (di antaranya adalah hadīts ini).
⑵ Bahwasanya hadīts ini bertentangan dengan hadīts-hadīts yang lain, di antaranya hadīts Āisyah dan hadīts Usamah bin Zaid.
√ Hadīts Āisyah diriwayatkan oleh Al-Bukhāri dan Muslim.
√ Hadīts Usamah bin Zaid diriwayatkan oleh An-Nassai.
Kemudian di antara hadīts lain yang bertentangan dengan hadīts ini adalah sabda Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam:
لاَ تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ
"Janganlah kalian mendahului bulan Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari sebelumnya."
Menunjukkan sebelum itu, silahkan kita berpuasa, yaitu sebelum datangnya satu hari atau dua hari sebelum Ramadhan, silahkan kita berpuasa. Dan ini menunjukkan bahwasanya tidak dilarang berpuasa setelah pertengahan bulan Sya'ban.
Seandainya hadīts ini adalah hadīts yang shahīh (karena memang di sana ada sebagian ulama yang menshahīhkan), adapun yang mendhaifkan di antaranya adalah Abdurrahman Ibnu Mahdi, Ibnu Ma'iy, Imam Ahmad, Abū Zur’ah.
Dan Imam Ahmad menolak hadīts ini di antaranya adalah dengan hadīts tadi yaitu, "Janganlah kalian mendahului bulan Ramadhan dengan berpuasa satu hari sebelumnya atau dua hari sebelumnya", karena bertentangan dengan hadīts ini, di samping lemahnya sanad yang dimiliki.
Apapun ulama yang menshahīhkan di antaranya Al-Muasirin yang ada di zaman sekarang (pernah hidup di zaman sekarang), yaitu dua imam yaitu:
① Syaikh Al-Albāniy rahimahullāh
② Syaikh Bin Baz rahimahullāh.
Beliau berdua adalah di antara ulama yang mengatakan hadīts ini adalah hadīts yang telah tetap shahīh dari Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam.
⇒ Di sana ada khilāf tentang keshahīhan hadīts ini
Seandainya hadīts ini adalah hadīts yang shahīh bagaimana kita memahaminya?
Hadīts ini menunjukkan tentang larangan orang yang sengaja memulai puasa dari pertengahan bulan Sya'ban.
"Apabila sudah datang pertengahan bulan Sya'ban, kemudian dia baru memulai puasanya.”
Seperti yang dilakukan sebagian orang, di antara alasannya adalah untuk kehati-hatian. Sehingga mulai pertengahan bulan Sya'ban dia sudah berpuasa. Yang demikian dilarang.
Seandainya hadīts ini adalah hadīts shahīh maka pemahamannya, "Apabila datang pertengahan bulan Sya'ban", baru dia memulai berpuasa. Ini tidak boleh !
Tetapi kalau memulai puasanya dari awal mengikuti apa yang dilakukan Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam, maka tidak masalah. Dan ini yang sunnah.
Dari awal bulan Sya'ban sudah membiasakan berpuasa dan melakukan puasa di sebagian besar bulan Sya'ban. Inilah yang sunnah dari Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam.
⇒ Berarti tidak ada pertentangan seandainya hadīts ini adalah hadīts yang shahīh.
Di sana ada hikmah atau rahasia disebutkan oleh sebagian ulama kenapa disyari'atkan untuk puasa di bulan Sya’ban?
Di antara hikmahnya:
⑴ Disebutkan oleh Ibnu Rajab rahimahullah, bahwasanya puasa di bulan Sya'ban seakan-akan dia adalah latihan menghadapi puasa di bulan Ramadhan, supaya ketika seseorang memasuki bulan Ramadhan dia sudah terbiasa, mengamalkan puasa yang wajib dia sudah terbiasa tidak kaget lagi.
⑵ Bahwasanya puasa Sya'ban seperti muqadimmah atau amalan yang dilakukan sebelum amalan yang wajib dan diumpamakan oleh sebagian dia adalah seperti rawatib qabliyyah, sebagaimana dalam shalāt ada rawatib qabliyyah ada rawatib ba'diyyah untuk menyempurnakan amalan yang wajib.
Demikian pula puasa yang wajib (Ramadhan) di sana ada qabliyyah dan ba'diyyah. Qabliyyahnya adalah perumpamaan saja maksudnya puasa di bulan Sya'ban, seakan-akan dia qabliyahnya, dan ba'diyyahnya adalah enam hari di bulan Syawal.
Oleh karena itu sebagian mengatakan bahwasanya berpuasa di bulan Sya'ban lebih besar pahalanya daripada berpuasa di bulan Rajab, sifatnya adalah dikuatkan sebagaimana rawatib qabliyyah dan ba'diyyah ini lebih utama dan lebih besar pahalanya daripada shalāt-shalāt mutlaq yang lain.
Oleh karena itu, dengan mendengar dan membaca hadīts-hadīts tadi, maka hendaklah kita berusaha untuk menghidupkan sunnah Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam ini, yaitu dengan memperbanyak melakukan puasa di bulan Sya'ban.
Ini adalah puasa yang أياما معدودة - hari-hari yang bisa dihitung (tidak banyak) supaya diangkat amalan kita dan kita dalam keadaan berpuasa, dengan harapan Allāh Subhānahu wa Ta'āla menerima amalan yang kita lakukan.
Dan diterimanya amalan seseorang adalah kebahagiaan yang besar bagi seorang hamba, dan Allāh Subhānahu wa Ta'āla menyebutkan di dalam Al-Qur'ān bahwa Allāh tidak menerima amalan kecuali dari orang yang bertaqwa.
Sebagaimana firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla:
إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ ٱللَّهُ مِنَ ٱلْمُتَّقِينَ
"Sesungguhnya Allāh hanya menerima dari orang-orang yang bertaqwa.” (QS Al-Maidāh: 27)
Sebagian sahabat, kalau tidak salah Abū Darda beliau mengatakan: "Seandainya aku tahu bahwa Allāh menerima dariku dua raka’at, niscaya aku adalah orang yang paling berbahagia”.
Menunjukkan bagaimana para sahabat radhiyallāhu 'anhum, mereka dahulu berkeinginan keras agar amalan mereka diterima Allāh Subhānahu wa Ta'āla.
Kemudian beliau mengatakan (karena Allāh mengatakan):
إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ ٱللَّهُ مِنَ ٱلْمُتَّقِينَ
"Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertaqwa.” (QS Al-Maidāh: 27)
Meskipun hanya sedikit kalau diterima oleh Allāh amalan tersebut menunjukkan bahwa kita adalah orang yang bertaqwa, dan orang yang bertaqwa itulah yang akan masuk ke dalam Surga.
Allāh mengatakan:
إِنَّ ٱلْمُتَّقِينَ فِى جَنَّٰتٍۢ وَعُيُونٍ
“Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa mereka berada di dalam Surga-Surga dan di dalam mata air-mata air". (QS Al-Hijr: 45 dan Adz-Dzāriyāt: 15)
إِنَّ لِلْمُتَّقِينَ مَفَازًا
"Sesungguhnya bagi orang-orang bertaqwa keberuntungan." (QS An-Nabā': 31)
⇒ Maksudnya keberuntungan masuk ke dalam Surga-Nya Allāh Azza wa Jalla.
Maka kita harus berusaha agar (bagaimana) amalan kita diterima oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla. Dan petunjuk Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam adalah memperbanyak puasa di bulan Sya'ban supaya ketika amalan kita diangkat di hari-hari ini kita dalam keadaan berpuasa.
=====================================================================
Ikhwāniy Fīdīn wa Akhawātiy Fīllāh A'ādzaniyallāh wa Iyyakum.
Kemudian poin selanjutnya, adalah tentang beberapa amalan yang tidak disyari'atkan di bulan Sya'ban, di antaranya:
⑴ Mengkhususkan melakukan shalāt malam pada malam Nishfu Sya'ban yaitu malam tanggal 15, hal seperti ini tidak ada dasar yang shahīh dari Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam.
Sebagian yang mengamalkan, mengamalkan dengan dasar hadīts Āli radhiyallāhu 'anhu yang diangkat sampai Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam.
Dimana Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan:
إذا كانت ليلة النصف من شعبان فقوموا ليلتها وصوموا يومها، فإن الله تبارك وتعالى ينـزل فيها لغروب الشمس إلى سماء الدنيا، فيقول : ألا من مستغفر فأغفر له ألا من مسترزق فأرزقه ألا من مبتل فأعافيه ألا كذا ألا كذا حتى يطلع الفجر
"Apabila pada malam Nishfu Sya'ban atau pertengahan bulan Sya'ban maka hendaklah kalian melakukan shalāt di malam hari dan berpuasalah kalian di siang harinya karena sesungguhnya Allāh turun pada malam tersebut setelah tenggelamnya matahari ke langit dunia.
Kemudian Allāh mengatakan, “Apakah ada yang memohon ampun?, maka aku akan mengampuni dia". "Adakah yang memohon rezeki?, maka aku akan memberikan rezeki kepadanya". "Adakah orang yang terkena musibah?, maka aku akan menghindarkan dia dari musibah tersebut". Dan seterusnya sampai datang waktu subuh.”
Hadīts ini sangat lemah, telah didhaifkan oleh banyak ulama, di antaranya adalah Ibnul Madini dan didhaifkan oleh Imam Al-Bukhāri dan Al-Mundziri, Ibnu Rajab, Adz-Dzahabi, termasuk di antaranya adalah Ibnul Hajar Al-Hisyami.
Banyak ulama-ulama yang menghukumi hadīts ini adalah hadīts yang sangat lemah. Bahkan sebagian mengatakan hadīts ini adalah hadīts yang maudhu (palsu) yang isinya adalah dorongan untuk melakukan shalāt malam pada malam tanggal 15 dan melakukan puasa pada siang harinya.
⑵ Di antara cara shalāt yang dilakukan oleh sebagian pada malam tersebut, apa yang dinamakan dengan shalāt alfiyyah.
⇒ Alfiyyah artinya seribu.
Kenapa dinamakan demikian?
Karena shalāt pada malam tersebut jumlah raka'atnya ada 100 kemudian setiap raka'at membaca Al-Fātihah sekali, kemudian setelahnya membaca surat Al-Ikhlās 10 kali.
100 raka'at berarti 100 X 10 = 1000 surat Al Ikhlās dibaca pada malam tersebut. Sehingga dinamakan dengan shalāt alfiyyah. Ini juga tidak ada dalīlnya.
Dalam beramal shālih tidak cukup hanya dengan semangat, dengan niat yang baik dan bertaqarrub kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla, tetapi harus sesuai dengan sunnah Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam.
⑶ Demikian pula dalam hadīts tadi disebutkan bahwa seseorang didorong untuk melakukan puasa pada siang hari.
Jadi malam harinya dia melakukan shalāt malam, besoknya tanggal 15 didorong untuk berpuasa, maka ini juga tidak ada dalīlnya.
Tapi seandainya seseorang berpuasa pada hari tersebut karena dia melakukan puasa bidh yaitu puasa yang dilakukan setiap bulan diutamakan tanggal 13, 14 dan 15, dia berpuasa pada hari tersebut, niatnya adalah untuk melakukan puasa bidh. Maka hal ini boleh, karena berdasarkan keumuman hadīts yang diperintahkan kita untuk menjaga atau melakukan puasa tiga hari setiap bulan.
Sebagaimana dalam hadīts dari Abū Hurairah radhiyallāhu 'anhu, bahwasanya, "Aku diberi wasiat oleh kekasihku, yaitu Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam, untuk melakukan puasa tiga hari di setiap bulan".
Disebutkan dalam hadīts yang lain tanggal 13,14 dan 15, dinamakan dengan Puasa Bidh.
Jika niatnya berpuasa tanggal 15 karena dia ingin melakukan puasa bidh, maka ini tidak masalah, tetapi jika niatnya untuk puasa Nishfu Sya'ban, maka kita katakan yang demikian tidak disyari'atkan.
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
"Sesungguhnya amalan sesuai dengan niatnya.”
⑷ Meyakini bahwasanya di malam Nishfu Sya'ban ditentukan takdir selama setahun, ada yang meyakini demikian. Dan ini tidak ada dalīlnya, bahkan dalīl menunjukkan takdir al-hauli (takdir yang ditulis setiap tahun) terjadi pada bulan Ramadhan, yaitu pada malam Lailatul Qadar.
Dinamakan lailatul qadar, Al-Qadar di sini di ambil dari kata takdir, karena pada malam tersebut ditakdirkan seluruh perkara yang terjadi selama setahun ke depan, yaitu dari malam lailatul qadar pada tahun tersebut sampai datang malam lailatul qadar pada tahun setelahnya.
Allāh Subhānahu wa Ta'āla mengatakan:
فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ
“Di dalamnya diputuskan seluruh perkara dengan bijaksana.” (QS Ad-Dukhān: 4)
Para ulama menjelaskan maksudnya adalah ditakdirkan pada malam Lailatul Qadar seluruh takdir yang terjadi pada setahun yang akan datang.
Jadi keyakinan bahwasanya pada malam tersebut ditentukan takdir manusia, maka ini tidak ada dalīl yang demikian.
=============================================
Beberapa amalan yang tidak disyari'atkan di bulan Sya'ban, di antaranya:
⑸ Melakukan semacam haflah atau pesta kecil di malam tersebut dengan membagi-bagikan makanan kepada teman atau tetangga, maka yang demikian tidak ada dalīlnya (sunnahnya).
Fatwa dari Ibnu Hajar Al-Haitani (ulama mazhab Syafi'i) di dalam fatawanya ketika beliau di tanya tentang puasa di pertengahan bulan Sya'ban.
Apakah yang demikian disunnahkan?
Beliau menyebutkan bahwasanya mengkhususkan hari tersebut untuk berpuasa dan malamnya untuk melakukan shalāt sunnah (shalāt malam), kata beliau ini termasuk bid’ah (perkara yang diada-adakan).
Dan beliau menyebutkan bahwasanya Subkhi (ulama madzhab Syafi’i), mengingkari amalan seperti ini, dan menyebutkan bahwasanya hadīts yang berkaitan dengan hal ini adalah hadīts yang maudhu (palsu).
Tentang masalah membagi-bagikan makanan tadi saya bawakan fatwa dari Syaikh bin Bazz rahimahullāh.
Beliau ditanya tentang الاحتفال بليلة النصف من شعبان melakukan pesta kecil puasa malam Nishfu Sya'ban.
Beliau mengatakan:
من البدع التي أحدثها بعض الناس: بدعة الاحتفال بليلة النصف من شعبان، وتخصيص يومها بالصيام، وليس على ذلك دليل يجوز الاعتماد عليه، وقد ورد في فضلها أحاديث ضعيفة لا يجوز الاعتماد عليها،
"Termasuk di antara perkara yang diada-adakan, yang diadakan oleh sebagian manusia adalah pesta di malam Nishfu Sya'ban, dan mengkhususkan harinya untuk berpuasa, yang demikian tidak ada dalīl untuk dijadikan sandaran, dan telah datang hadīts-hadīts dhaif yang berkaitan dengan keutamaannya, bahkan tidak boleh dijadikan pegangan.”
Berkata Syaikh Utsaimin rahimahullāh:
الصحيح أن صيام النصف من شعبان أو تخصيصه بقراءة، أو بذكر لا أصل له، فيوم النصف من شعبان كغيره من أيام
"Yang benar, bahwasanya berpuasa pada malam Nishfu Sya'ban atau mengkhususkan malam tersebut untuk membaca Al-Qur'ān atau mengkhususkan malam tersebut untuk dzikir, ini tidak ada dasarnya. Maka pertengahan Sya'ban seperti pertengahan-pertengahan lainnya.”
Kalau melakukan shalāt malam pada malam Nishfu Syaban karena sudah terbiasa melakukan shalāt malam, maka ini boleh.
Jika seseorang sudah terbiasa shalāt malam, lalu pada malam Nishf Sya’ban tidak melakukan shalāt malam, ini tidak benar.
Berkata Syaikh Muhammad Shālih Al-Utsaimin ketika ditanya tentang melakukan shalāt malam pada malam Nishfu Sya'ban.
Beliau mengatakan:
"Melakukan shalāt malam pada malam tersebut ada tiga tingkatan:
أن يكون له عادة في قيام الليل فيفعل في ليلة النصف ما يفعله في غيرها من غير أن يخصها بزيادة، معتقداً أن لذلك مزية فيها على غيرها، فهذا أمر لا بأس به
⑴ Seseorang sudah memiliki kebiasaan untuk melakukan shalāt malam. Maka silahkan dia melakukan shalāt pada malam tersebut, melakukan apa yang biasa dia kerjakan tanpa mengkhususkan tambahan tertentu. Maka yang demikian tidak masalah.
أن يصلى في هذه الليلة، أعني ليلة النصف من شعبان دون غيرها من الليالي، فهذا بدعة
⑵ Dia melakukan shalāt malam pada malam tersebut, tapi pada malam-malam lain dia tidak tidak melakukan shalāt malam, maka ini bid'ah.
أن يصلى في تلك الليلة صلوات ذات عدد معلوم، يكرر كل عام، فهذه المرتبة أشد ابتداعاً من المرتبة الثانية وأبعد عن السنة.
⑶ Dia melakukan shalāt pada malam tersebut dengan shalāt yang memiliki jumlah tertentu (shalāt alfiyyah) dan diulang-ulang setiap tahun, maka tingkatan ketiga ini lebih parah daripada yang kedua.
Demikian pula Syaikh Muhammad Shālih Al-Utsaimin pernah ditanya tentang keyakinan sebagian yang meyakini bahwa malam tersebut ditentukan atau ditaqdirkan rezeki bagi seseorang, ditadqirkan seluruh amalan dan selainnya, maka beliau mengatakan:
وهذا باطل، فإن الليلة التي يقدر فيها ما يكون في العام هي ليلة القدر،
"Yang demikian adalah bathil karena sesungguhnya malam yang ditaqdirkan di dalamnya taqdir selama setahun adalah pada malam lailatul Qadar.”
Mungkin itu yang bisa kita sampaikan pada kesempatan kali ini. Semoga sedikit yang kita sampaikan tadi bermanfaat dan menjadikan kita lebih semangat beramal pada bulan Sya'ban ini dan menjadikan amalan kita adalah amalan yang berdasarkan ilmu.
No comments:
Post a Comment